Senin, 03 Desember 2012

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN


Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sumber makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan secara terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia dalam mengelola alam memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain yang juga sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap pemanfaatan alam. Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat terhadap kerusakan adalah bidang pertambangan.

Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Termasuk sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara tambang-tambang mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat ditemukannya bahan tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak lingkungan yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).

Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan muncul adalah lebih besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.

Aktivitas Pertambangan

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan tambang) terdiri dari:

a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.

b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.

c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali, pasir, tras, dampal dan lain-lain.

Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya (Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah (underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda.

Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.

Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100% (Pohan, dkk, 2007).

Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).

Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).

Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain:

1. Perubahan vegetasi penutup

Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.


Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami


2. Perubahan topografi

Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.


Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan


3. Perubahan pola hidrologi

Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun (Ptacek, et.al, 2001).


Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan


4. Kerusakan tubuh tanah

Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.

Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.

Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.


Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang mempengaruhi daerah di luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg (Landsat 2003).


Menyelesaikan Konflik Pertambangan





Menyelesaikan Konflik Pertambangan

BERLARUT-larutnya konflik pertambangan di sejumlah daerah di negeri ini, tidak terlepas dari minusnya kemauan politik pemerintah (pusat maupun daerah) dalam merespon tuntutan dan kepentingan publik. Justru yang terjadi adalah pengabaian, yang tentu saja semakin memperbesar konflik pertambangan. Tahun 2010-2011 saja, terdapat setidaknya 13 konflik pertambangan.
Secara umum, konflik-konflik pertambangan itu disebabkan pencemaran lingkungan, penolakan warga, konflik lahan dengan warga, ketenagakerjaan dan tumpang tindih lahan.

Selain itu, kehadiran pertambangan justru menimbulkan persoalan baru. Misalnya semakin retaknya hubungan kekeluargaan, serta menyuburkan konflik sosial dan horizontal. Juga, kehadiran pertambangan tidak mampu menghadirkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pihak yang diuntungkan dari aktivitas pertambangan ini hanyalah pengusaha dan pejabat. Realitas ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam dunia pertambangan kita.

Maraknya pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang didasarkan atas kepentingan sesaat penguasa daerah tanpa melibatkan masyarakat luas, merupakan pintu gerbang konflik pertambangan. Pemberian izin  seringkali dilakukan menjelang dan atau setelah Pilkada. Hal ini mengindikasikan adanya pencarian dana kampanye maupun balas jasa atas dukungan dalam Pilkada. Era otonomi daerah justru menjadi kesempatan emas bagi beberapa elite daerah untuk memperkaya diri dengan menjual surat izin tersebut.

Pemberian izin yang instan seperti itu sudah pasti menimbulkan masalah baru. Apalagi izin tersebut tidak didasarkan pada tanggungjawab perusahaan dalam memperhatikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat setempat. Dengan mengandalkan surat resmi tersebut, pihak pengusaha tambang pun melakukan eksploitasi besar-besaran demi keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa peduli pada aspek lingkungan dan sosial. Sehingga masuk akal ketika sejumlah pertambangan di tanah air merusak lingkungan dan tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.    

Sialnya, ketika masyarakat melakukan unjuk rasa maupun perlawanan, biasanya dihadapi dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan aparat keamanan sebagai tembok penjaga aktivitas pertambangan. Bahkan parahnya, pihak perusahaan pertambangan menggaji aparat keamanan (yang sebenarnya sudah digaji dari uang rakyat) untuk menjaga usaha pengerukan kekayaan alam tersebut. Masyarakat yang melakukan tuntutan pencabutan izin pun akhirnya diredam aparat keamanan secara represif.

Persoalan konflik pertambangan ini harus segera diselesaikan. Jika tidak, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Oleh sebab itu, segala perusahaan tambang yang bermasalah sudah saatnya dievaluasi. Jika memang tambang tersebut membawa penderitaan bagi rakyat dan merusak lingkungan, maka perlu tindakan tegas (bila perlu pencabutan izin). Di sinilah sangat dibutuhkan kemauan dan keseriusan pemerintah dalam merespon suara masyarakat demi kepentingan bersama.

Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Tinggal langkah-langkah yang seperti apa yang ditempuh untuk menyelesaikannya. Keberhasilan Walikota Solo Joko Widodo, dalam merelokasi pedagang kaki lima patut menjadi contoh. Di mana dia melakukan pendekatan dialog sampai 54 kali hanya demi terciptanya kesepakatan yang bisa diterima oleh semua pihak. Pendekatan seperti ini patut diterapkan dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pelaku usaha tambang, demi kepentingan bersama.

Selanjutnya ke depan, sebelum negara ini benar-benar menjadi milik pemodal asing, maka negara (pemerintah) harus kembali ke jalan yang benar. Kembali pada jalur konstitusi, pasal 33 UUD 1945. Memang sejak orde baru hingga sekarang (orde terbaru), negara telah mengingkarinya. Mulai dari lahirnya UU No 1 Tahun 1967 hingga UU No 25 Tahun 2007, menjadi pintu masuk dominasi asing. Sehingga sampai hari ini, rakyat tetap menderita. Kelaparan terjadi di atas tanah emas.

Anehnya, di saat kemiskinan dan pengangguran menghimpit jutaan rakyat, pemerintah (pusat dan daerah) dengan suara percaya diri selalu mengundang kehadiran investor-investor asing. Seolah-olah investor itu menjadi malaikat pembebas bagi rakyat miskin. Padahal dalam realitasnya, justru menambah persoalan baru.

Perlu ditekankan, kita memang bukan anti asing. Bukan menolak investor asing. Hanya saja dalam pengelolaan dan pembagian hasil, terjadi ketidakadilan. Pemerintah seolah-olah hanya sebagai penjaga keamanan bagi pemodal asing, dengan menerima recehan dari mereka. Sementara rakyat menjadi buruh murah di negeri sendiri, bahkan diasingkan dan digusur dari tanah sendiri. Rakyat (terpaksa) menerima “limbah” buruk dari usaha pengerukan kekayaan alam tersebut.

PT Freeport Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan tambang yang bermasalah, melanggar pasal 33. Dari segi kepemilikan saham, lebih dari 90% saham perusahaan yang sudah mengeruk kekayaan bumi Papua sejak 1967 ini dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold.

Sisanya sekitar 9% dikuasai pemerintah Indonesia. Bila dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat, maka sungguh memprihatinkan di mana rakyat di sekitar pertambangan tersebut menderita. Belum lagi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kehadiran perusahaan tambang ini.

Sekali lagi, kembali ke pasal 33 UUD 1945 bukan berarti menolak hadirnya modal asing. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana agar terjadi keadilan dalam penguasaan cabang produksi yang penting bagi negara khususnya dalam pertambangan (minimal 51% untuk Indonesia), agar kekayaan alam negara tersebut demi kemakmuran rakyat, dan pengelolaannya memperhatikan lingkungan serta bervisi jangka panjang. Tanpa hal itu, konflik akan tetap membara dan rakyat menderita. (Jhon Rivel Purba)



Sabtu, 17 November 2012

MASALAH PERTAMBANGAN

Lemah Tegakkan Hukum, Akan Perparah Konflik Lahan Akibat Tambang



Pertambangan batubara.

Kegagalan pemerintah menertibkan perizinan yang diberikan kepada para pebisnis tambang dan perkebunan, akan membawa bencana sosial dan ekologis yang akan makin meluas di berbagai wilayah tanah air. Hingga saat ini, akibat kegagalan pemerintah memaksa perusahaan tersebut untuk mematuhi prosedur perizinan lokasi, dari catatan sejak bulan Januari hingga Juni 2012 saja, konflik lahan mencapai 377.159 hektare dengan melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia.
Dari laporan Bisnis.com, Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan konflik lahan hingga pertengahan tahun saja mencapai 377.159 hektare dengan 101 kasus. Dibandingkan akhir 2011, KPA mencatat jumlah konflik lahan mencapai 472.084 hektare dengan 163 kasus.
“Sektor perkebunan, pertambangan dan hutan masih mendominasi konflik lahan. Pertengahan tahun saja sudah mencapai 300 ribu hektare lebih,” ujar Iwan dalam diskusi ‘Konflik Agraria dan Hutang Reformasi Agraria BPN’ di Jakarta, Jumat 22 Juni silam. “Ini terjadi di pelosok desa hingga kota. Yang diperlukan adalah penyelesaian yang cepat, namun tidak mungkin dilakukan oleh BPN sekarang.”
Terkait lemahnya penegakan hukum ini, pemerintah diminta menuntaskan proses penertiban izin tumpang tindih lahan pertambangan. Berdasar laporan beritasatu.com, Kementerian ESDM mencatat 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang belum dinyatakan clean and clear, sedangkan 4.626 izin sudah dinyatakan clean and clear atau tidak bermasalah.
Dari total 5.940 IUP yang belum clean and clear, sebanyak 3.988 IUP untuk komoditas mineral dan 1.952 IUP untuk komoditas batubara.
Sedangkan dari total 4.626 IUP yang clean and clear, sebanyak 2.784 IUP tambang mineral dan 1.842 sisanya merupakan IUP batubara.
Kebanyakan IUP mengalami tumpang tindih lahan, meliputi lahan beda komoditas, tumpang tindih lahan sesama komoditas, hingga tumpang tindih karena kewenangan. Biasanya tumpang tindih lahan terjadi karena garis batas antar wilayah kabupaten yang tidak jelas.
Perbedaan garis batas sering muncul setelah adanya otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Ada juga beberapa wilayah tambang yang berada di lokasi hutan konservasi.
Masalah lainnya, menurut Iwan Nurdin,  adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang kini dipimpin Hendarman Supandji, bekas Jaksa Agung, yang dinilai tidak akan dapat menyelesaikan konflik lahan secara cepat. Dia mengkhawatirkan pendekatan yang dipakai Hendarman adalah pendekatan formal sehingga masyarakat yang tak memiliki legalitas lahan akan selalu dikalahkan.
“Perusahaan selalu tidak memiliki masalah legal formal, dibandingkan dengan masyarakat yang tak memiliki sertifikat dalam kepemilikan lahan. Ada sekitar 22.000 desa yang berada di dalam kawasan hutan yang tak memiliki sertifikat,” demikian Iwan.
Pada akhir 2011, KPA mencatat sedikitnya konflik lahan terjadi di area seluas 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang 2011. Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktur (21 kasus), pertambangan (delapan kasus), dan pertambakan (satu kasus). Total kasus mencapai 163, naik dibandingkan dengan periode 2010 yang hanya 106 kasus.
Angka ini nampaknya masih akan terus meningkat, mengingat hingga tengah tahun ini saja  konflik lahan sudah mencapai 377.000 kasus lebih.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengakui, saat ini memang banyak izin tambang batubara yang masih tumpang tindih. Masalah tersebut terjadi karena penentuan batas wilayah yang masih manual, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan menjadi lebih besar.
“Akibatnya, kegiatan produksi juga tidak bisa dilaksanakan. Ini merupakan kerugian buat negara,” kata dia.
Dia melihat, masalah tumpang tindih lahan tambang harus diselesaikan di pemerintah daerah. Pasalnya, masalah tumpang tindih ini harus diurut hingga ke awal siapa yang sebenarnya paling berhak memiliki wilayah tambang yang dimaksud.
“Maka memang harus dikembalikan ke daerah untuk itu,” ujar Supriatna kepada beritasatu.com, Senin 13 Agustus 2012 silam.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini mengatakan, permasalahan tumpang tindih lahan sebaiknya diselesaikan di tingkat pemerintah daerah. Pasalnya, pemerintah daerahlah yang paham betul terkait batas wilayah dan kewenangan.
“Nanti gubernur akan diminta selesaikan masalah tumpang tindih ini dengan mengumpulkan para bupati di bawahnya,” kata dia ketika dihubungi Investor Daily.
Namun, menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada pemerintah lokal, juga bukan sebuah solusi terbaik. Mengingat pertimbangan perekonomian, masih menjadi alasan bagi daerah untuk mempertahankan bisnis pertambangan dan perkebunan. Contoh nyata, adalah Provinsi Kalimantan Timur, yang masih mengandalkan bisnis pertambangan sebagai salah satu sumber pendapatan mereka.

Peta survey isu tambang. Sumber Departemen ESDM
Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek menjelaskan, di Kaltim, kegiatan pertambangan terdiri dari 33 izin kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat serta 1.386 perusahaan yang mengantongi surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari kepala daerah yang dahulu bernama Kuasa Pertambangan (KP). “Seluruhnya berjumlah 1.419 izin kegiatan pertambangan di Kaltim,” ujar Awang kepada detik.com bulan Mei silam.
Meski begitu, Awang mengaku telah mengusulkan kepada Kementerian Energi Sumber Daya Alam, agar pemerintah mengeluarkan kebijakan membatasi target produksi batu bara dari 220 juta menjadi 150 juta ton.
Menurut dia, Kaltim ingin tetap menjaga daya dukung lingkungan di daerah, yang setiap hari kian mengkhawatirkan. Selain itu, juga untuk menambah usia potensi pertambangan batubara di Kaltim. “Saya sudah sampaikan usulan pembatasan produksi itu kepada Menteri ESDM. Saya yakin, usulan kita terkait pembatasan akan diperhatikan,” sebut Awang optimistis.
“Saya sudah menghitung, daya dukung lingkungan dengan target produksi batubara tahun 2012 ini 220 juta ton, sebanyak 2,6 miliar meter kubik tanah yang di dikeruk,” tambahnya.
Dari pantauan udara yang dilakukan tim teknis lintas instansi di lingkungan Pemprov Kaltim pertengahan Mei 2012 silam, terdapat sekitar 110 lubang galian tambang batubara yang menganga. Awang menyorot kota Samarinda, sebagai Ibu Kota Provinsi Kaltim yang semakin rusak kualitas lingkungannya akibat kegiatan pertambangan batubara.
Menurut catatan Greeenpeace tahun 2010, di Provinsi Kalimantan Selatan dan Timur, terdapat 400.000 hektar hutan yang tersisa (2007), 323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi batubara. Sejak tahun 2000, 85.000 ha di Kalimantan Selatan dan 9.000 ha di Kalimantan Timur hutan hilang karena konsesi batubara tersebut.
Total tutupan hutan yang berada dalam konsesi pertambangan di kedua propinsi ini mencapai 723.000 ha atau 0,8% dari total wilayah hutan Indonesia pada tahun 2005.
Kegagalan menertibkan izin uzaha pertambangan, terbukti tidak hanya mengupas hutan tropis Indonesia dan merusak habitat berbagai spesies terancam di tanah air, namun juga membuka luka baru konflik sosial antara warga masyarakat dan perusahaan, yang selalu dimenangkan pihak perusahaan.

Sumber : http://www.mongabay.co.id