Senin, 03 Desember 2012

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN


Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sumber makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan secara terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia dalam mengelola alam memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain yang juga sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap pemanfaatan alam. Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat terhadap kerusakan adalah bidang pertambangan.

Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Termasuk sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara tambang-tambang mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat ditemukannya bahan tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak lingkungan yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).

Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan muncul adalah lebih besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.

Aktivitas Pertambangan

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan tambang) terdiri dari:

a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.

b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.

c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali, pasir, tras, dampal dan lain-lain.

Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya (Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah (underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda.

Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.

Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100% (Pohan, dkk, 2007).

Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).

Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).

Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain:

1. Perubahan vegetasi penutup

Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.


Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami


2. Perubahan topografi

Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.


Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan


3. Perubahan pola hidrologi

Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun (Ptacek, et.al, 2001).


Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan


4. Kerusakan tubuh tanah

Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.

Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.

Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.


Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang mempengaruhi daerah di luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg (Landsat 2003).


Menyelesaikan Konflik Pertambangan





Menyelesaikan Konflik Pertambangan

BERLARUT-larutnya konflik pertambangan di sejumlah daerah di negeri ini, tidak terlepas dari minusnya kemauan politik pemerintah (pusat maupun daerah) dalam merespon tuntutan dan kepentingan publik. Justru yang terjadi adalah pengabaian, yang tentu saja semakin memperbesar konflik pertambangan. Tahun 2010-2011 saja, terdapat setidaknya 13 konflik pertambangan.
Secara umum, konflik-konflik pertambangan itu disebabkan pencemaran lingkungan, penolakan warga, konflik lahan dengan warga, ketenagakerjaan dan tumpang tindih lahan.

Selain itu, kehadiran pertambangan justru menimbulkan persoalan baru. Misalnya semakin retaknya hubungan kekeluargaan, serta menyuburkan konflik sosial dan horizontal. Juga, kehadiran pertambangan tidak mampu menghadirkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pihak yang diuntungkan dari aktivitas pertambangan ini hanyalah pengusaha dan pejabat. Realitas ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam dunia pertambangan kita.

Maraknya pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang didasarkan atas kepentingan sesaat penguasa daerah tanpa melibatkan masyarakat luas, merupakan pintu gerbang konflik pertambangan. Pemberian izin  seringkali dilakukan menjelang dan atau setelah Pilkada. Hal ini mengindikasikan adanya pencarian dana kampanye maupun balas jasa atas dukungan dalam Pilkada. Era otonomi daerah justru menjadi kesempatan emas bagi beberapa elite daerah untuk memperkaya diri dengan menjual surat izin tersebut.

Pemberian izin yang instan seperti itu sudah pasti menimbulkan masalah baru. Apalagi izin tersebut tidak didasarkan pada tanggungjawab perusahaan dalam memperhatikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat setempat. Dengan mengandalkan surat resmi tersebut, pihak pengusaha tambang pun melakukan eksploitasi besar-besaran demi keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa peduli pada aspek lingkungan dan sosial. Sehingga masuk akal ketika sejumlah pertambangan di tanah air merusak lingkungan dan tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.    

Sialnya, ketika masyarakat melakukan unjuk rasa maupun perlawanan, biasanya dihadapi dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan aparat keamanan sebagai tembok penjaga aktivitas pertambangan. Bahkan parahnya, pihak perusahaan pertambangan menggaji aparat keamanan (yang sebenarnya sudah digaji dari uang rakyat) untuk menjaga usaha pengerukan kekayaan alam tersebut. Masyarakat yang melakukan tuntutan pencabutan izin pun akhirnya diredam aparat keamanan secara represif.

Persoalan konflik pertambangan ini harus segera diselesaikan. Jika tidak, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Oleh sebab itu, segala perusahaan tambang yang bermasalah sudah saatnya dievaluasi. Jika memang tambang tersebut membawa penderitaan bagi rakyat dan merusak lingkungan, maka perlu tindakan tegas (bila perlu pencabutan izin). Di sinilah sangat dibutuhkan kemauan dan keseriusan pemerintah dalam merespon suara masyarakat demi kepentingan bersama.

Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Tinggal langkah-langkah yang seperti apa yang ditempuh untuk menyelesaikannya. Keberhasilan Walikota Solo Joko Widodo, dalam merelokasi pedagang kaki lima patut menjadi contoh. Di mana dia melakukan pendekatan dialog sampai 54 kali hanya demi terciptanya kesepakatan yang bisa diterima oleh semua pihak. Pendekatan seperti ini patut diterapkan dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pelaku usaha tambang, demi kepentingan bersama.

Selanjutnya ke depan, sebelum negara ini benar-benar menjadi milik pemodal asing, maka negara (pemerintah) harus kembali ke jalan yang benar. Kembali pada jalur konstitusi, pasal 33 UUD 1945. Memang sejak orde baru hingga sekarang (orde terbaru), negara telah mengingkarinya. Mulai dari lahirnya UU No 1 Tahun 1967 hingga UU No 25 Tahun 2007, menjadi pintu masuk dominasi asing. Sehingga sampai hari ini, rakyat tetap menderita. Kelaparan terjadi di atas tanah emas.

Anehnya, di saat kemiskinan dan pengangguran menghimpit jutaan rakyat, pemerintah (pusat dan daerah) dengan suara percaya diri selalu mengundang kehadiran investor-investor asing. Seolah-olah investor itu menjadi malaikat pembebas bagi rakyat miskin. Padahal dalam realitasnya, justru menambah persoalan baru.

Perlu ditekankan, kita memang bukan anti asing. Bukan menolak investor asing. Hanya saja dalam pengelolaan dan pembagian hasil, terjadi ketidakadilan. Pemerintah seolah-olah hanya sebagai penjaga keamanan bagi pemodal asing, dengan menerima recehan dari mereka. Sementara rakyat menjadi buruh murah di negeri sendiri, bahkan diasingkan dan digusur dari tanah sendiri. Rakyat (terpaksa) menerima “limbah” buruk dari usaha pengerukan kekayaan alam tersebut.

PT Freeport Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan tambang yang bermasalah, melanggar pasal 33. Dari segi kepemilikan saham, lebih dari 90% saham perusahaan yang sudah mengeruk kekayaan bumi Papua sejak 1967 ini dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold.

Sisanya sekitar 9% dikuasai pemerintah Indonesia. Bila dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat, maka sungguh memprihatinkan di mana rakyat di sekitar pertambangan tersebut menderita. Belum lagi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kehadiran perusahaan tambang ini.

Sekali lagi, kembali ke pasal 33 UUD 1945 bukan berarti menolak hadirnya modal asing. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana agar terjadi keadilan dalam penguasaan cabang produksi yang penting bagi negara khususnya dalam pertambangan (minimal 51% untuk Indonesia), agar kekayaan alam negara tersebut demi kemakmuran rakyat, dan pengelolaannya memperhatikan lingkungan serta bervisi jangka panjang. Tanpa hal itu, konflik akan tetap membara dan rakyat menderita. (Jhon Rivel Purba)