Sabtu, 17 November 2012

MASALAH PERTAMBANGAN

Lemah Tegakkan Hukum, Akan Perparah Konflik Lahan Akibat Tambang



Pertambangan batubara.

Kegagalan pemerintah menertibkan perizinan yang diberikan kepada para pebisnis tambang dan perkebunan, akan membawa bencana sosial dan ekologis yang akan makin meluas di berbagai wilayah tanah air. Hingga saat ini, akibat kegagalan pemerintah memaksa perusahaan tersebut untuk mematuhi prosedur perizinan lokasi, dari catatan sejak bulan Januari hingga Juni 2012 saja, konflik lahan mencapai 377.159 hektare dengan melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia.
Dari laporan Bisnis.com, Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan konflik lahan hingga pertengahan tahun saja mencapai 377.159 hektare dengan 101 kasus. Dibandingkan akhir 2011, KPA mencatat jumlah konflik lahan mencapai 472.084 hektare dengan 163 kasus.
“Sektor perkebunan, pertambangan dan hutan masih mendominasi konflik lahan. Pertengahan tahun saja sudah mencapai 300 ribu hektare lebih,” ujar Iwan dalam diskusi ‘Konflik Agraria dan Hutang Reformasi Agraria BPN’ di Jakarta, Jumat 22 Juni silam. “Ini terjadi di pelosok desa hingga kota. Yang diperlukan adalah penyelesaian yang cepat, namun tidak mungkin dilakukan oleh BPN sekarang.”
Terkait lemahnya penegakan hukum ini, pemerintah diminta menuntaskan proses penertiban izin tumpang tindih lahan pertambangan. Berdasar laporan beritasatu.com, Kementerian ESDM mencatat 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang belum dinyatakan clean and clear, sedangkan 4.626 izin sudah dinyatakan clean and clear atau tidak bermasalah.
Dari total 5.940 IUP yang belum clean and clear, sebanyak 3.988 IUP untuk komoditas mineral dan 1.952 IUP untuk komoditas batubara.
Sedangkan dari total 4.626 IUP yang clean and clear, sebanyak 2.784 IUP tambang mineral dan 1.842 sisanya merupakan IUP batubara.
Kebanyakan IUP mengalami tumpang tindih lahan, meliputi lahan beda komoditas, tumpang tindih lahan sesama komoditas, hingga tumpang tindih karena kewenangan. Biasanya tumpang tindih lahan terjadi karena garis batas antar wilayah kabupaten yang tidak jelas.
Perbedaan garis batas sering muncul setelah adanya otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Ada juga beberapa wilayah tambang yang berada di lokasi hutan konservasi.
Masalah lainnya, menurut Iwan Nurdin,  adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang kini dipimpin Hendarman Supandji, bekas Jaksa Agung, yang dinilai tidak akan dapat menyelesaikan konflik lahan secara cepat. Dia mengkhawatirkan pendekatan yang dipakai Hendarman adalah pendekatan formal sehingga masyarakat yang tak memiliki legalitas lahan akan selalu dikalahkan.
“Perusahaan selalu tidak memiliki masalah legal formal, dibandingkan dengan masyarakat yang tak memiliki sertifikat dalam kepemilikan lahan. Ada sekitar 22.000 desa yang berada di dalam kawasan hutan yang tak memiliki sertifikat,” demikian Iwan.
Pada akhir 2011, KPA mencatat sedikitnya konflik lahan terjadi di area seluas 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang 2011. Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktur (21 kasus), pertambangan (delapan kasus), dan pertambakan (satu kasus). Total kasus mencapai 163, naik dibandingkan dengan periode 2010 yang hanya 106 kasus.
Angka ini nampaknya masih akan terus meningkat, mengingat hingga tengah tahun ini saja  konflik lahan sudah mencapai 377.000 kasus lebih.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengakui, saat ini memang banyak izin tambang batubara yang masih tumpang tindih. Masalah tersebut terjadi karena penentuan batas wilayah yang masih manual, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan menjadi lebih besar.
“Akibatnya, kegiatan produksi juga tidak bisa dilaksanakan. Ini merupakan kerugian buat negara,” kata dia.
Dia melihat, masalah tumpang tindih lahan tambang harus diselesaikan di pemerintah daerah. Pasalnya, masalah tumpang tindih ini harus diurut hingga ke awal siapa yang sebenarnya paling berhak memiliki wilayah tambang yang dimaksud.
“Maka memang harus dikembalikan ke daerah untuk itu,” ujar Supriatna kepada beritasatu.com, Senin 13 Agustus 2012 silam.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini mengatakan, permasalahan tumpang tindih lahan sebaiknya diselesaikan di tingkat pemerintah daerah. Pasalnya, pemerintah daerahlah yang paham betul terkait batas wilayah dan kewenangan.
“Nanti gubernur akan diminta selesaikan masalah tumpang tindih ini dengan mengumpulkan para bupati di bawahnya,” kata dia ketika dihubungi Investor Daily.
Namun, menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada pemerintah lokal, juga bukan sebuah solusi terbaik. Mengingat pertimbangan perekonomian, masih menjadi alasan bagi daerah untuk mempertahankan bisnis pertambangan dan perkebunan. Contoh nyata, adalah Provinsi Kalimantan Timur, yang masih mengandalkan bisnis pertambangan sebagai salah satu sumber pendapatan mereka.

Peta survey isu tambang. Sumber Departemen ESDM
Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek menjelaskan, di Kaltim, kegiatan pertambangan terdiri dari 33 izin kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat serta 1.386 perusahaan yang mengantongi surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari kepala daerah yang dahulu bernama Kuasa Pertambangan (KP). “Seluruhnya berjumlah 1.419 izin kegiatan pertambangan di Kaltim,” ujar Awang kepada detik.com bulan Mei silam.
Meski begitu, Awang mengaku telah mengusulkan kepada Kementerian Energi Sumber Daya Alam, agar pemerintah mengeluarkan kebijakan membatasi target produksi batu bara dari 220 juta menjadi 150 juta ton.
Menurut dia, Kaltim ingin tetap menjaga daya dukung lingkungan di daerah, yang setiap hari kian mengkhawatirkan. Selain itu, juga untuk menambah usia potensi pertambangan batubara di Kaltim. “Saya sudah sampaikan usulan pembatasan produksi itu kepada Menteri ESDM. Saya yakin, usulan kita terkait pembatasan akan diperhatikan,” sebut Awang optimistis.
“Saya sudah menghitung, daya dukung lingkungan dengan target produksi batubara tahun 2012 ini 220 juta ton, sebanyak 2,6 miliar meter kubik tanah yang di dikeruk,” tambahnya.
Dari pantauan udara yang dilakukan tim teknis lintas instansi di lingkungan Pemprov Kaltim pertengahan Mei 2012 silam, terdapat sekitar 110 lubang galian tambang batubara yang menganga. Awang menyorot kota Samarinda, sebagai Ibu Kota Provinsi Kaltim yang semakin rusak kualitas lingkungannya akibat kegiatan pertambangan batubara.
Menurut catatan Greeenpeace tahun 2010, di Provinsi Kalimantan Selatan dan Timur, terdapat 400.000 hektar hutan yang tersisa (2007), 323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi batubara. Sejak tahun 2000, 85.000 ha di Kalimantan Selatan dan 9.000 ha di Kalimantan Timur hutan hilang karena konsesi batubara tersebut.
Total tutupan hutan yang berada dalam konsesi pertambangan di kedua propinsi ini mencapai 723.000 ha atau 0,8% dari total wilayah hutan Indonesia pada tahun 2005.
Kegagalan menertibkan izin uzaha pertambangan, terbukti tidak hanya mengupas hutan tropis Indonesia dan merusak habitat berbagai spesies terancam di tanah air, namun juga membuka luka baru konflik sosial antara warga masyarakat dan perusahaan, yang selalu dimenangkan pihak perusahaan.

Sumber : http://www.mongabay.co.id